“Waktu baru-baru terjun dulu, aku ingat itu pas kejadian tsunami di Aceh. Sempat takut juga, seperti ada hubungannya gitu kan. Seperti diingatkan gitu, kalau Tuhan marah itu ngeri,” katanya, cekikikan. Nyatanya, ketakutannya tak sebesar tekadnya.
Di kota ini, dia menjelma menjadi mesin pencari uang. Selain untuk membayar uang kos, keperluan perawatan wajah dan tubuh, dia juga harus memikirkan kiriman uang buat ibunya, yang kini menjadi single parent bagi dua adiknya, dan anaknya sendiri di kampung. Dan satu lagi, membiayai seorang bronces yang tinggal bersamanya di kamar kos itu.
“Kamu udah tau gimana susahnya cari uang, kok malah ngebiayain bronces gitu sih? Bodoh betul!”
“Aku perlu seseorang yang nyayangin aku, temen aku cerita-cerita di sini.”
“Tapi dia ngga mungkin sayang sama kamu. Kalau sayang, ngga mungkin dia tega makan uang yang kamu dapat dengan susah gitu. Paling nggak, dia harus membiayai dirinya sendiri, kalau memang tak mampu membantu kamu. Bukannya malah jadi beban.”
“Terus dari siapa aku bisa dapat kasih sayang? Orang yang make aku? Kalau laki-laki udah ngasih kita uang, dia udah ngga ngerasa perlu nyayangin kita lagi. Kita udah dibelinya. Mana ada laki-laki yang mau benar-benar sayang sama perempuan rusak kayak aku ini. Perempuan baik-baik aja susah dapat laki-laki yang bener-bener sayang sama dia kok!"
"Broncesku itu, aku ngga peduli dia bener-bener sayang sama aku atau cuma manfaatin aku Tapi paling nggak, dia masih berada di bawah kontrol aku. Kapan aku mau, dia ada. Kalau aku harus keluar uang untuk itu, ngga apa-apa. Semua memang butuh biaya. Orang yang mau kepuasan dari aku, membayar. Kalau aku pun ingin mendapat kepuasan dan kasih sayang, ya membayar juga. Ngga ada yang gratis di dunia, apalagi hal seberharga cinta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar